Bulan Rabiul Awal, Momentum Refleksikan Sikap Toleran dan Kepemimpinan
16/09/2024 19:37 JUNAIDI
JAKARTA, MUI.OR.ID—Bulan Rabiul Awal senantiasa menjadi bagian momentum yang mewarnai keberkahan umat Islam. Di bulan inilah, lahir sosok agung Nabi Muhammad SAW yang menjadi suri teladan (uswah) bagi seluruh umat manusia.
Secara semarak umat Islam memperingati bulan maulid sebagai bentuk rasa syukur. Nabi Muhammad SAW telah membawa ajaran dan tuntunan sebagai pegangan umat manusia dalam menjalani kehidupan.
Maulid Nabi tidak sekadar momentum perayaan, tetapi juga menjadi titik refleksi untuk meneladani akhlak nabi dalam semua aspek kehidupan. Sejatinya akhlak nabi mencakup dimensi kehidupan yang universal, baik dalam kehidupan berkeluarga, beragama, berbangsa, hingga kehidupan bernegara.
Sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS al-Ahzab ayat 21:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa sosok nabi menjadi barometer atau suri teladan bagi kehidupan umat manusia. Sebagai utusan Allah SWT dalam menyampaikan pesan kepada umat manusia, nabi sukses melakoni pesan tersebut dalam diri dan bagi orang-orang di sekitarnya.
Kata iswah berarti teladan. Menurut Az-Zamakhsyari, lafaz iswah dalam ayat tersebut memiliki dua kemungkinan makna. Pertama, iswah dalam arti kepribadian nabi secara total adalah teladan. Kedua, di antara kepribadian beliau terdapat hal-hal yang patut diteladani.
Akan tetapi, dalam pandangan mayoritas ulama, pendapat pertama adalah yang paling kuat (masyhur), karena kata terdapat lafaz fi dalam ayat tersebut yang mengindikasikan makna seluruhnya.
Sebagian ulama yang lain juga berpendapat, keteladanan ini terbatas pada akhlak dan hal-hal keagamaan semata. Adapun aspek kehidupan yang lain, nabi memiliki kekhususan tersendiri yang membedakannya dengan manusia pada umumnya. (Rafi, 2020).
Dengan demikian, sebagai umatnya, kita harus cermat dalam memilah keteladanan nabi berperan secara multidimensional. Nabi di satu sisi sebagai rasul, mufti, hakim, pemimpin masyarakat, dan dapat bisa juga sebagai seorang manusia, yang memiliki kekhususan-kekhususan yang membedakan beliau dari manusia-manusia lain.
Dalam kehidupan di era modern saat ini, sosok keteladanan nabi menjadi suatu keniscayaan bagi kita sebagai umatnya. Umat Islam saat ini dihadapkan pada suatu tantangan kehidupan yang memiliki karakternya tersendiri.
Barangkali tantangan tersebut sangatlah relatif berbeda dengan tantangan semasa Nabi hidup. Tetapi akhlak dan cara nabi dalam merespons tantangan tersebut masihlah relevan untuk menghadapi tantangan kehidupan saat ini.
Dalam konteks kekinian, kita mungkin dihadapkan pada suatu realitas keberagamaan yang selalu diwarnai dengan perseteruan, perbedaan pendapat, dan preferensi sosial. Tidak jarang bahkan hal demikian berujung pada konflik yang tidak berkesudahan. Pada gilirannya, sikap toleransi untuk menerima keberagaman semakin hilang secara perlahan.
Padahal dalam menjalankan dakwah keagamaan, nabi senantiasa mengedepankan toleransi terhadap keberagaman masyarakat Arab waktu itu. Hal itu terbukti dengan lahirnya Piagam Madinah sebagai konstitusi pertama dunia. Di dalamnya begitu sarat dengan spirit kemanusiaan yang saling menghargai satu sama lain.
Begitu pula sering kali kita dihadapkan pada suatu krisis kepercayaan akan kepemimpinan. Akan dijumpai suatu perbedaan yang sangat mencolok bagaimana praktik kepemimpinan Nabi dan kepemimpinan era saat ini.
Kepemimpinan nabi merupakan suatu bentuk misi dakwah dalam menyebarkan ajaran-ajaran keagamaan. Tidak dijumpai suatu arogansi kepemimpinan yang berorientasi pada kepentingan pribadi Nabi sendiri. Kepemimpinan tersebut didasarkan pada suatu perjuangan bagi tegaknya kebenaran, keadilan, dan kesetaraan di antara umat manusia.
Begitu besar tantangan dalam meneladani akhlak nabi dalam kehidupan saat ini. Dengan demikian, momentum peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW harus dimaknai sebagai momentum refleksi untuk memperbaiki diri. Sebagai umat nabi, kita sudah seyogyanya menjauhkan diri dari sikap intoleran terhadap keberagaman dan arogansi terhadap kepemimpinan. (Rozi/Din, mui.or.id)